DOMBA


– CATATAN EDDY KRISTIYANTO OFM – 

Mungkin hanya serba kebetulan, “misa sulung” Rama Eduard Salvatore da Silva OFM saat ini bertepatan dengan hari raya Yesus Kristus Raja Semesta Alam. Mengapa “kebetulan”? Sebab, salah satu perangkat pentahbisan imamat terhalang oleh efek pandemi ini telah menyebabkan Diakon Eduard cs ditunda tahbisannya.

Setelah semua dinyatakan steril, akhirnya tahbisan dilaksanakan pada 17 November. Hari itu, 17 November, adalah pesta Santa Elisabeth dari Hungaria, seorang penyayang orang miskin.

Fokus Kabar Gembira pada Hari Raya Yesus Kristus Raja Semesta Alam ini juga berhubungan dengan orang miskin sebagai mahkota. Namun kiranya bukan orang miskin yang dipandang sebagai mahkota kemuliaan, melainkan sikap dan perbuatan kepada orang miskin.

Bagaimana jalan ceritanya sehingga sikap dan perbuatan terhadap orang miskin menjadi jalan utama menuju keabadian? Rahasia tentang jalan yang hanya sedikit orang ketahui ini, kiranya turut mendorong Rama Edo menulis tesis magister mengenai teologi disabilitas.

===================================

Berbicara tentang “raja” (seperti raja Gurame, Raja Jalanan, Raja Minyak, Raja Kapal, apalagi sebutan Raja Di Raja) wajar kalau kita mengaitkan dengan kewibawaan, autoritas, dan kekuasaan. Maksudnya, raja itu mempunyai kekuasaan, memiliki kewenangan dan keahlian di atas rata-rata yang umum, orang awam.

Mengenai Tuhan kita Yesus Kristus Raja Semesta Alam, bacaan Injil hari ini (Mat. 25: 31-46) menegaskan peran Raja yang bukan hanya membedakan, tetapi malahan memisahkan yang satu dari yang lain. Ini sesuatu yang penting dan perlu, bahwasanya membedakan itu tidak sama dengan memisahkan.

Membedakan yang diteruskan dengan memisahkan itu mempunyai narasinya: Domba dibedakan dari kambing. Domba ada di sebelah kanan; dan kambing ada di sebelah kiri.

Jadi,

menurut narasi Kitab Suci tadi, pada penghakiman terakhir semua bangsa dikelompokkan menjadi dua, yakni Kelompok Domba dan Kelompok Kambing.

Salah satu hal yang sangat menarik perhatian saya dan untuk itu hendak saya persembahkan kepada neomis (imam baru)  ini: Bagaimana raja itu atau mengapa raja itu mengidentifikasikan diri dengan orang yang lapar, yang haus, dengan orang asing, yang terlanjang (tidak berpakaian), yang sakit, dan pesakitan?

Dalam tataran dan ukuran dunia dan masyarakat pada umumnya, status raja tidak ada sambung rapatnya sama sekali dengan ciri-ciri disabilitas, seperti lapar, miskin, sakit, compang-camping. Hal yang membuat saya “kena”, “trenyuh”, “terpukul” secara rohani adalah bagaimana orang bersikap dan bertindak terhadap samaran raja?

 ====================================

Dari pembacaan saya atas Injil, “orang-orang benar”, yang bagaikan “kawanan domba” memiliki dalam hidupnya dua sikap fundamental (dasariah). Kedua sikap itu ialah kemampuan untuk memahami, dan memiliki kehendak yang kuat yang nyata dalam perbuatan.

Sementara, “orang-orang yang di sebelah kiri” sikapnya bertolak belakang. Punya indera tidak terhubung dengan saraf dan kehendak sehingga tidak menghasilkan apa-apa.

Dengan kata lain,

ada dua kata kunci untuk membuka rahasia jalan rajawi hidup ini, yakni memiliki kemampuan dan memiliki kehendak. Kesempurnaan hidup rajawi dengan demikian terdapat dalam perpaduan langgeng antara potentia dan voluntas, akal budi dan hati dalam satu diri.

Khusus untuk Neomis.

  • Dengan sengaja saya mengatakan: Proficiat dan Selamat. Kamu menjadi imam.
  • Dan saya tidak mengatakan: “Edo, kamu sudah menjadi imam.”
  • Imamat bukan merupakan cita-cita yang sudah tercapai, melainkan suatu proses yang dihayati secara berkelanjutan setiap hari.
  • Menjadi itu imam itu kata kerja (bukan kata benda), yang bermakna dinamis, bergumul, dan merupakan program kehidupan yang dihiasi dengan kekhawatiran, harapan, kegagalan, kegembiraan, kekecewaan, bahkan keragu-raguan selagi seluruh kehendak belum beristirahat dalam ALLAH-YANG-BERBELARASA-TANPA-BATAS. (cfr. Inspirasi dari St. Augustinus Hippo). *****