Eddy Kristiyanto OFM: Dalam Keterbatasan

Redaksi
6 Min Read

Di Manakah Engkau, Tuhan?

[Disampaikan dalam Ekaristi Komunitas Pendidikan Duns Scotus, Kampung Ambon, Jakarta Timur, pada Minggu, 9 Agustus 2020 pk. 11.30].

Dalam kesempatan ini izinkanlah saya membaca dan menatapkan pengalaman Nabi Elia (1 Raj. 19:9,11-13) dan Rasul Petrus (Mat. 14:22-33) dalam perspektif saya sebagai pribadi kristiani. Saya memberi judul narasi ini dengan ungkapan, “Di Manakah Engkau, Tuhan?”

Saudara Sekalian.

Tahun 1989, ketika sebagian besar dari kalian belum lahir, saya ditugaskan untuk studi lanjut di Roma, Italia. Sebelum berangkat tidak ada satu kata pun dalam Bahasa Italia yang saya ketahui. Inggris pun sangat “cupet” (terbatas). Hanya satu ungkapan Jerman yang saya ketahui maknanya, yakni Ich liebe Dich. Apa lagi Latin, yang hanya menyangkut, Agricola puelam laudat. Itu saja!

Pimpinan Provinsi saat itu melihat ada“lacuna” atau lobang dalam formasio (pendidikan) intelektual di Indonesia, terutama dalam bidang sejarah. Di kemudian hari saya menyadari pandangan dan keputusan pimpinan untuk mengutus saya mempelajari Sejarah Gereja itu sangat visioner. Bagaimana tidak?

Di seluruh pusat konsentrasi pendidikan di Indonesia (dari Abepura, Pineleng, Pematangsiantar, Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Malang, Ledalero, sampai Kupang) tidak ada spesialis Sejarah Gereja, kecuali Rm. Jan Weitjens SJ. Mata kuliah Sejarah Gereja diampu oleh dosen-dosen Liturgi, Filsafat, Hukum Gereja, Antropologi, dan lain sebagainya. Terlintas di ingatan saya: Pater Adolf Heuken, Harry Stolk, Dick Hartoko, G. van Schie, dan lain-lain.

Saudara Sekalian.

Kalau ditanya soal minat pribadi, dulu saya berminat pada bidang sistematik, dogmatik, dan sedikit-banyak spekulatif. Ini juga menurut pengamatan Pater Cletus Groenen OFM, pembimbing rohani dan studi saya.

Akan tetapi Pimpinan Provinsi menugaskan saya untuk ilmu positif, yang ada data, ada bukti, dan ada hermeneuse historis. Saya berangkat dengan pengetahuan dasariah yang nyaris kosong. Ibarat “rusa masuk kampung” saya berada di belantara rimba raya Universitas Gregoriana yang dikelola oleh para padri Jesuit.

Hanya dalam 3 (tiga) bulan kursus Bahasa Italia di Roma dan Milano, kemudian saya “terjun bebas” dalam perkuliahan. Tidak ada yang mudah sama sekali! Berjalan dengan tertatih-tatih. Saya merasa sangat ditopang oleh keadaan kesehatan yang prima dan semangat diri yang tidak pernah lapuk dan lekang. Koran (surat kabar), radio, dan televisi menjadi penolong yang mengasah talenta yang Tuhan limpahkan kepada saya.

Saudara Sekalian.

Bila kembali ke pengalaman masa lalu, saya sendiri kini merasa heran mengapa saya seperti tidak memiliki rasa takut gagal, malah sebaliknya, yaitu berupaya mencoba sesuatu yang baru, berikhtiar untuk menciptakan peluang. Misalnya,

Mencari sendiri beasiswa di Kedutaan Besar Jerman untuk Takhta Suci untuk belajar Bahasa Jerman di Schwäbisch-Hall, dekat Stuttgart, harus tinggal di keluarga Jerman selama 40 (empat puluh) hari.

Pada kesempatan lain, meminta-minta beasiswa ke Missionzentrale der Franziskaner di Bonn sehingga bisa belajar Bahasa Jerman (lagi) di Wien, Austria selama empat bulan.

Pada musim liburan, saya memanfaatkan untuk belajar Bahasa Perancis di Lyons.

Beberapa kali saya bekerja di Paroki Zeltingen-Rachtig an der Mosel di Keuskupan Trier (sementara pastor paroki libur musim panas). Dari sana saya lalu melanjutkan ke Münster (tinggal di antara OFM dan saban hari belajar perpustaan Keuskupan dan Kota) dan Mainz (tinggal di antara para Kapusin dengan sesekali memimpin misa di gereja paroki dan konven susteran). Enam bulan saya tinggal di Münster dan Mainz untuk melakukan riset di arsip guna penulisan disertasi tentang Uskup Kaum Buruh, Wilhelm Emmanuel von Ketteler (1811-1877).

Saudara Sekalian.

Kalau hendak jujur pada diri sendiri dan sesama, saya perlu menyatakan bahwa saya pribadi yang terbatas, tidak cemerlang, bukan teladan yang patut dicontoh! Saya adalah pribadi yang dapat dijadikan “pembanding”. Dan itu sungguh-sungguh terjadi saat saya mempertahankan disertasi (28 Februari 1996):

-> semua pertanyaan, saya habiskan dengan lahap dan benar;

-> saya berbicara seperti orang “pintar”: lancar-lincah pada hal saya tidak menenggak Vodka, Red Label, atau Wiski;

-> para penguji (5 orang) juga (terutama mentor saya) terheran-heran ….. (biasanya saya tidak selancar ini. Mungkin mentor saya tidak paham bagaimana Roh Kudus bekerja dalam diri saya. Saya lulus dengan sangat cemerlang: summa cum laude, dan nantinya mendapat Medali St. Robertus Bellarminus SJ, rektor pertama Collegio Romano, pembela utama Gereja Kristus yang dipimpin oleh Sri Paus).

Jika Nabi Elia mendapati Tuhan dalam angin sepoi-sepoi basah; Santo Petrus menemukan Yesus Kristus dalam keragu-raguan; saya menjumpai Roh-Nya dalam keterbatasan yang terbuka.****

 

Sdr. Antonius Eddy Kristiyanto

Jakarta, 9 Agustus 2020

Fotojet 1 : Rm. Eddy Kristiyanto OFM dalam berbagai kegiatannya

Fotojet 2 : Medali St. Robertus Bellarminus saat menyabet predikat tertinggi dalam ujian disertasi, 28 Februari 1996, Summa Cum Laude.

[Best_Wordpress_Gallery id=”128″ gal_title=”eddy 2″]

 

 

 

TAGGED:
Share This Article