Delapan orang pemudi memasuki masa postulan di Kongregasi FSGM. Mereka datang dari berbagai daerah untuk menanggapi panggilan Tuhan yang terkadang begitu lembut bahkan tidak jelas.
Tekad mereka meninggalkan keluarga untuk mengikuti Tuhan Yesus secara khusus butuh didukung dan didoakan. Langkah mereka masihlah jauh dalam menapaki panggilan suci ini. Mereka yang dikirim Tuhan untuk FSGM adalah Natalia Maya, Veronika Yesi Susilowati, Aquina Angger Budi, Purwaning Rahayu, Yusia Indah, Desi Suryani, Santi Puspitasari, dan Andriyani.
Ibadat penerimaan postulan diadakan di Kapel Samadi St. Yusuf, Pringsewu, 8 September 2017. Setelah itu dilanjutkan dengan ramah tamah di aula novisiat.
Memasuki rumah novisiat St. Maria Pringsewu, para aspiran ini disambut dengan alunan musik arumba dari para novis dan yunior. Hari itu mereka mengganti baju postulan, sebagai tanda memulai hidup baru.
Sr. Aquina meminta kepada mereka agar tidak lagi memikirkan latar belakang dan asal keluarga. Yang penting, membuka hati dan butuh kerendahan hati untuk dibimbing.
Memasuki ‘dunia baru’ tentu ada rasa takut dan cemas. Seperti yang dirasakan Angger Budi Lestari, ia takut tidak bisa mengimbangi alur proses pendidikan dan menjalin kerjasama yang baik dengan teman-teman angkatan.
Kesedihan bergelayut di hati Yesi Susilowati karena ia pertama kali melihat ayahnya menangis saat Yesi meninggalkan rumah menuju Pringsewu. “Saya di rumah tidak pernah pergi kemana-mana. Ini pertama saya pergi jauh dari rumah,” katanya menahan tangis.
Lalu, mengapa mereka memilih Kongregasi FSGM? Angger, kelahiran Palembang, 28 Januari 2000, mengaku senang melihat sluier dan jubah FSGM. Seiring waktu hatinya semakin terpikat karena kedekatannya dengan para suster FSGM di komunitas Palembang. “Saya merasa di sapa dan diperhatikan.”
Sementara Yesi, dari Paroki Rumbia, sehari-hari jarang melihat sosok suster. Suatu hari ada aksi panggilan di parokinya. Di situlah hatinya terpikat dengan keramahan para suster FSGM.
Natalia Maya, sejak umur 2 tahun, ia tinggal di Atambua. Pemudi asal Timor Leste ini senang melihat para suster FSGM di komunitas Atambua karena rendah hati, lembut, dan dekat dengan masyarakat. “Saya akan menunjukkan pada teman-teman kalau saya serius dengan pilihan hidup ini, meski mereka sering mengolok-olok karena saya ingin menjadi seorang suster biarawati,” jelasnya. ***(Frans)