
Dalam kesempatan ini, saya akan memanfaatkan waktu yang ada untuk berbicara dengan diri saya sendiri. Dalam kosa kata Bahasa Indonesia inilah yang disebut dengan solilokui (soliloqui). Tentu ini berseberangan dengan Colloquium, yang berarti pembicaraan bersama, bahkan dialog, dan pembicaraan timbal balik.
Sifat solilokui adalah bebas, ‘agak’ liar, tanpa saringan, bisa salah bisa benar, tetapi semuanya masuk di akal meski belum tentu masuk di hati; dan sebaliknya, yakni bisa masuk di hati, namun ada di luar nalar. Solilokui itu dengan demikian seperti seorang bocah yang bergumam dan berbicara dengan bebas, tanpa takut terjerat undang-undang keamanan nasional.
=====================================
Saya pernah berpikir mengenai Yohanes Duns Scotus yang pestanya jatuh (mengapa memakai istilah “jatuh, dari mana “jatuhnya”. Kiranya yang dipikirkan adalah bukan dari bawah, melainkan dari samping, dari ketinggian) pada hari ini, 8 November.
Konon, Scotus berujar begini: “Scotia me genuit, Anglia me suscepit, Gallia me docuit, et Colonia me tenet.” Artinya, Skotlandia melahirkan saya, Inggris menerima saya, Prancis mengajar(i) saya, Köln (Jerman) memegang dan mempertahankan saya. Dan memang demikianlah adanya pengalaman nyata Scotus.
Sepertinya, Scotus tidak banyak berwicara dan tidak juga mendengarkan, atau tidak juga belajar dari Thomas Aquinas atau Giovanni Fidanza, atau Bonaventura. Tetapi kayaknya, ia banyak omong-omong dengan Henry Ghent (wafat 1297) dan dengan Godfrey Fontaines.
Ketika Thomas Aquinas dan Bonaventura berkiprah dan masih berkibar, Duns Scotus tidak mengenal secara kasat mata sosok kedua tokoh legendaris itu. Sesungguhnya, Scotus adalah pemikir yang orisinal. Maksudnya, Scotus sendiri menggali sumber, asal-usul, dan biang pemikiran, yakni Aristoteles dan Petrus Lombardus.
Karya Aristoteles dan Petrus Lombardus menjadi batu penjuru serta pengembangan karya-karyanya, seperti Sentences menjadi Lectura atau Komentar tentang Sentences; Treatise on God as the Principle atau De Primo Principio; dan Comentary on Metaphysics.
===============================
Scotus itu pemikir orisinal. Ia mengolah “sumber”, yakni (mengerjakan) objek garapannya, yang tidak lain bagaikan matahari. Scotus bukan pemikir yang menyelidiki apa yang dihasilkan oleh matahari, misalnya energi, panas, terang, dan lain sebagainya.
Dalam bahasa simbol, Kristus Yesus pernah dikembangkan secara spekulatif sebagai matahari-sejati. Kristus bukan matahari jadi-jadian.
Adalah seorang Hans Urs von Balthasar (wafat 22 Juni 1988), dari mazhab atau tradisi nouvelle théologie, yang dipengaruhi oleh Søren Kierkegaard, Martin Buber, Bonaventura, Origenes, Karl Barth, dan Erich Przywara, yang memandang John Duns Scotus sebagai “pengarang modern yang sejati dan sungguh-sungguh. Tidak ada kepalsuan.”
Hal itu diungkapkannya secara penuh lantara “pemahamannya yang univokal tentang being, yang mengantar Scotus pada pandangan yang modern, sekular, positivis, dan imanen. (Lihat Hans Urs von Balthasar. The Glory of the Lord. San Francisco: Ignatius Press, 1991, hlm. 6-22).
=======================
Sebenarnya saya masih ingin berbicara tentang salah satu sumbangan Scotus yang terbesar, yakni tentang akal budi dan kehendak. Hal ini sangat menarik bukan saja siapa yang paling dominan dan dapat mengubah diri manusia dan dunianya, tetapi juga bagaimana arus kefransiskanan dipelihara, dikembangkan, dan diperdalaman oleh Duns Scotus.
Lain kali saja!
Sebagai final questions dalam semangat keilmuan scotian saya bertanya pada diri saya sendiri:
- Mengapa sebagai Fransiskan saya tidak merasakan bobot habitus keilmuan-yang-berpihak sebagaimana diperlihatkan Scotus (ketika berpolitik itu berarti harus memilih antara Bonivasius VIII dan Philips IV dan berani memikul risiko dari pilihan ini)?
- Mengapa tradisi belajar bersama yang terukur dan teruji itu tidak pernah saya alami sebagai gerak persaudaraan bersama-sama, kecuali gerak individual dan personal semata-mata?
- Mengapa ….. mengapa ini dan itu? Pasti ada jawabannya. Apa dan di mana jawabannya? *****
Eddy Kristiyanto OFM