
Catatan A. Eddy Kristiyanto OFM
Filsafat dan teologi yang tengah kita pelajari di bangku kuliah dan literatura kita bersambung rapat dengan objek material bacaan-bacaan suci. Ambillah sebagai contoh kitab Imamat 13:1-2, 44-46 dan Markus 1: 40-45. Bacaan-bacaan itu membicarakan tentang kusta, penyakit, dan subjek (orang yang menderita kusta). Di mana letak filosofia dan teologianya?
Di dalam filosofia dan teologia sebagai ilmu pengetahuan kita mengenal terminologi: fenomena, fenomenologi, eksistensi, dan eksistensialisme.
Fenomena (bahasa Yunani phainomenon) berarti apa yang terlihat, gejala, hal-hal yang dirasakan oleh pancaindera, dan bahkan indikasi. Fenomenologi merupakan sebuah disiplin ilmu yang meletakkan perhatiannya pada studi atas penampakan, akuisisi pengalaman, dan kesadaran. Jadi, fenomenologi itu mengenai pengalaman dan bagaimana pengalaman tersebut terbentuk. Tokoh kenamaan fenomenologi adalah Edmund Gustav Albrecht Husserl († 1939).
Sementara eksistensialisme merupakan aliran filsafat yang pahamnya berpusat pada manusia individu yang bertanggungjawab atas kemauannya yang bebas. Tokoh kondang eksistensialisme, misalnya Søren Kierkegaard († 1855), Friedrich Nietzsche († 1900), Karl Jaspers († 1969), Jean-Paul Sartre († 1980).
Dalam konteks ini, kita melihat ada kusta atau lepra. Indikasinya dan gejalanya jelas, yakni terasakan pada kulit. Kusta atau lepra itu eksis. Tidak dapat disangkal. Dalam bacaan suci tadi kita mendengar ada kurasi, yakni usaha untuk merawat agar orang sembuh, bahkan melalui tanda yang mengherankan, yakni mukjizat.
==============================================
Satu hal yang menimbulkan keheran-heranan saya adalah Kitab Imamat hanya bicara tentang ada gejala, ada indikasi, ada fakta kusta. Kusta itu eksis. Injil Markus dalam arti tertentu mencari gampangnya atau menyederhanakan persoalan: ada orang kusta, ada usaha untuk sembuh, ada penyembuhan berupa mukjizat.
Mengapa pengarang-pengarang suci tidak peduli pada pendidikan terhadap para pembacanya tentang bagaimana cara mencegah terjadinya penyakit jahanam itu? Tidak ada semacam elaborasi dengan mengulas mengapa kusta muncul, bagaimana mencegah kusta? Apakah akan dikatakan: tujuan dan maksud utama kitab suci ditulis bukan ini, bukan itu ……………..
Kan tidak elok menyederhanakan atau membodohi kita tentang sebab-musabab kusta dengan mengatakan itu kutukan, hukuman dari Allah, karena manusia sarat dengan dosa, atau kusta itu sebentuk pembalasan dari Tuhan? Itu pekerjaan iblis dst.
Mungkin harapan saya terlalu berlebihan. Tetapi mungkin juga tidak berlebihan. Sebab ada kegundahan hati saya yang sungguh beralasan sakit dan kesembuhan dalam bacaan-bacaan itu terlalu dipisahkan dengan menjadi manusia yang paripurna.
Kitab Suci seringkali -sekurang-kurangnya dalam bacaan tadi- hanya menyibukkan diri dengan formasio rohani (spiritual) dan iman. Kesannya, bahkan lectio divina (bacaan-bacaan rohani) tidak berbagi tempat secara komprehensif. Sebab menganggap diri bergerak pada bidang tertentu.
Terbersit dalam benak saya pemikiran liar, bahwasanya banyak karya atau pembekalan yang bercorak satu dimensi saja. Akibatnya produk yang dihasilkannya hanya one-dimension of human being.
Mengapa ulasan-ulasan alkitabiah tidak memperhitungkan ilmu pengetahuan, mempertentangkan keduniaan dan kesementaraan dengan kesurgaan dan keabadian, bahkan manusia yang berkehendak dengan Allah yang unlimited?
============================================
Hampir-hampir saya mengatakan, bahwa berpikir cerdas dan kritis akan membuat kita mampu menemukan jawaban atas aneka persoalan. Sebab persoalan bukan terdapat dalam Allah (yang membuat mukjizat) melainkan pada manusia.
Formasio yang seharusnya komprehentif dalam kenyataannya dipisahkan jauh-jauh dengan dimensi lain. Kecenderungan keliru kita adalah menciptakan kemapanan; dan sulit sekali mencoba sesuatu yang baru apabila sesuatu itu sudah mengakar kuat.
Jika kita mau menerobos bidang yang tidak digarap bacaan-bacaan swuci tadi, maka kita semestinya mengelola pokok-pokok ini: Apa saja bidang atau wilayah kita yang menjadi tanggungjawab dan tugas kita, yakni apa sebab-musabab kusta (dengan cara mengatasi penyederhanaan, mis. kutukan, dosa, santet, guna-guna)? Bagaimana cara mengolah hidup ini agar kusta tidak pernah hinggap di dalam hidup kita? *****