
Panggilan sebagai Duta Damai
Secara sederhana, duta dimengerti sebagai utusan, atau seseorang yang diutus untuk melaksanakan tanggungjawab tertentu. Jika kata ‘duta’ disandingkan dengan kata ‘damai’, kita bisa memaknainya sebagai seorang yang melaksanakan tanggungjawab tertentu, khususnya menjaga perdamaian agar tetap lestari. Bukan hal yang tinggi-tinggi dan jauh mengawang, bahwa kehadiran kita pun bisa menjadi ‘duta damai’ itu sendiri, baik di komunitas dan juga di mana kita diutus dan menjalaninya.
Tentu sebagai duta damai, tugas dan tanggungjawabnya bukan hanya sekadar hadir, namun kehadirannya harus memiliki bobot tersendiri. Termasuk memberi pengaruh positif di mana ia diutus. Maka menjadi ironis tatkala sebutan duta damai tersemat dalam diri kita, namun komunitas atau orang-orang di sekitar kita merasa tidak aman dan tidak nyaman, ada yang salah di sini. Hal ini bukanlah sesuatu yang mudah, sebagaimana dialami oleh nabi-nabi pada masa Perjanjian Lama.
Para nabi mengemban tugas untuk menyampaikan kehendak Allah bagi bangsa atau banyak orang. Maka menjadi berat, karena tugas kenabian itu pun harus pertama-tama dihidupi oleh nabi, dengan demikian ia harus bisa melihat pengalaman masa lalu, mewartakan pada zamannya, dan bernubuat serta memiliki visi yang jauh ke depan.
Tak jarang peran dan kehadiran mereka menjadi tantangan bagi pendengarnya. Ada yang merasa terusik karena warta yang disampaikan sang nabi, bahkan ada yang akhirnya menganiaya sang nabi. Memang seorang nabi sebagai penyambung lidah Allah perlu memiliki sifat kontemplatif, yang terlebih dahulu mengontemplasikan kehendak Allah, bukan apa yang dipikirkan dan disukai oleh nabi untuk disampaikan kepada pendengarnya.
Maka akan tampak, mana nabi sejati dan nabi palsu. Nabi palsu biasanya akan meniru-niru gaya warta nabi sejati, namun ada perbedaan yang khas, yakni nabi palsu akan menyampaikan apa yang enak didengarkan oleh penerima warta, yang sifatnya bisa direquest soal isi pewartaan oleh para pendengar.
Biasanya bukan kehendak Allah yang dihidupinya yang disampaikan, melainkan kehendak dirinya yang membuatnya nyaman dan pendengarpun merasa demikian. Maka tugas nabi dan duta pun sama beratnya, karena mengemban tugas yang tidak hanya sekadar hadir, melainkan kehadirannya adalah representasi (mewakili) kehadiran dan kehendak yang mengutusnya.
Maka kita bisa belajar dari pengalaman Yeremia diawal perutusan yang akan dijalaninya. “Ah, Tuhan ALLAH ! Sesungguhnya aku tidak pandai berbicara, sebab aku ini masih muda.” Dan TUHAN pun memberi tanggapan kepadanya, “Janganlah katakan: Aku ini masih muda, tetapi kepada siapa pun engkau Kuutus, haruslah engkau pergi, dan apapun yang Kuperintahkan kepadamu, haruslah kausampaikan”. (Yer 1:6-7).
Dari ungkapan sang nabi ini, tentu kita bisa membayangkan bagaimana situasinya saat itu, dari segi usia Yeremia masih sangat muda ketika diutus oleh ALLAH dan secara manusiawi pasti ia akan merasa ‘disepelekan’ oleh orang-orang dewasa, ditolak atau istilah saat ini akan dibully habis-habisan oleh pendengar wartanya.
Maka dalam hal ini, duta damai atau pengemban tugas kenabian tidak pernah bisa lepas dari jejaring dengan orang lain dan juga tidak akan pernah bisa berdiri dan kuat sendiri.
Perlu Jejaring
Jika duta damai itu terkait dengan perutusan dan orang lain, maka kehadirannya pun membutuhkan jejaring. Jejaring bisa bermakna luas, baik sebagai mitra karya kerasulan atau pengembangan sisi-sisi lain kepribadian. Di dunia yang serba jaringan ini, semua dikondisikan untuk memasukinya, mau tidak mau, suka tidak suka, ranah atau konteks saat ini demikian. Maka saat ini tak jarang komunitas yang satu akan membangun kerjasama dengan komunitas yang lain untuk sebuah visi dan misi pengembangan.
Bahkan jejaring yang sudah atau hendak dibentuk saat ini pun sangat difasilitasi oleh sarana canggih, teknologi. Memang kenyataan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi ini seolah telah menjelma menjadi semacam wadah dalam wujud aplikasi internet yang akrab ditelinga kita dengan sebutan media sosial.
Daya jangkau media ini sangat luas dan populis (memasyarakat) dan bisa dipakai oleh berbagai kalangan, usia, profesi dan latar belakang sosial yang beragam.
Seorang ahli komunikasi Kanada, Herbert Marshall McLuhan (1911-1980), dalam bukunya Undestanding media: The Extensions of Man pernah meramalkan bahwa semua orang akan terhubung dan berjejaring dengan pola komunikasi dua arah, mudah dan murah, serta melibatkan banyak orang. Maka dari itu, jarak dan waktu juga akan menjadi relatif dalam dunia internet zaman ini.
Maka dari itu, jejaring macam apa yang pas dalam dunia kita sebagai orang terpanggil dewasa ini? Tentu jika kita memasuki wilayah dan terdaftar sebagai netizen, kita tak hanya sekadar hadir. Namun kehadiran macam apa?, pun juga menjadi pertanyaan mendasar bagi kita tanpa abai dengan kehadiran secara tatap muka.
Adanya sarana untuk tetap bisa hadir dalam berjejaring ini, akhirnya menjadi pilihan banyak komunitas. Dalam konteks yang lebih luas, tokoh publik, institusi pemerintahan, dan juga para religius menggunakan media semacam ini untuk membangun forum komunikasi dan berbagi informasi.
Hal ini juga dipandang sebagai salah satu bentuk kehadiran dan sekaligus mewartakan, semakin bisa menjangkau banyak orang, khususnya generasi muda.
Hadir dan Memberi Buah
Sebagai tugas perutusan, duta damai dipanggil untuk hadir dan memberi buah. Banyak sarana virtual saat ini yang mau tidak mau menjadi ladang karya dan pastoral. Bukanlah hal tabu tatkala duta damai hadir menggunakan media-media semacam ini sejauh ada dalam batas-batas sewajarnya seturut keberadaan dirinya sebagai religius atau umat kristiani.
Banyak orang muda berkanjang di dunia Instagram, TikTok dan aplikasi lainnya, bukankah ini menjadi kesempatan kita untuk hadir bersama mereka dan menawarkan sepercik damai, sekaligus berjejaring dengan mereka? Semoga ..
Fr Nicolaus Heru Andrianto