Di tengah pandemi Covid-19 yang belum terlihat akan segera berkesudahan ini, sejumlah orang bermain dan menggoreng isu komunisme.
Sedikit berbicara tentang komunisme, ada orang yang menyatakan bahwa Kisah Para Rasul 2:44-47 dan Kisah Para Rasul 4: 33-35 merupakan cikal bakal komunisme. Kita baca rujukan Kisah Para Rasul 2:44-47
“Semua orang yang percaya tetap bersatu, dan semua milik mereka adalah milik bersama, dan selalu ada dari mereka yang menjual harta miliknya, lalu membagi-bagikannya kepada semua orang sesuai dengan keperluan masing-masing. Dengan bertekun dan sehati mereka berkumpul tiap-tiap hari dalam Bait Allah. Mereka memecahkan roti di rumah masing-masing secara bergiliran dan makan bersama-sama dengan gembira dan tulus hati, sambil memuji Allah dan mereka disukai semua orang. Tiap-tiap hari Tuhan menambah jumlah mereka dengan orang yang diselamatkan.”
Dan lagi, Kisah Para Rasul 4: 33-35:
“Dengan kuasa yang besar rasul-rasul memberi kesaksian tentang kebangkitan Tuhan Yesus dan mereka semua hidup dalam anugerah yang melimpah-limpah. Sebab tidak ada seorang pun yang berkekurangan di antara mereka; karena semua orang yang mempunyai tanah atau rumah, menjual kepunyaannya itu, dan hasil penjualan itu mereka bawa dan mereka letakkan di depan kaki rasul-rasul; lalu dibagi-bagikan kepada setiap orang sesuai dengan keperluannya.”
Hanya perlu dicatat baik-baik, praksis “komunisme” dalam Kisah Para Rasul agaknya sama. Akan tetapi motif fundamental dan utama berbeda sama sekali dengan komunisme politik kekuasaan sebagaimana diendus oleh Pierre Joseph Proudhon, Karl Marx, Josef Stalin, atau Nikita Khrushchev.
“Komunisme” Kisah Para Rasul diinspirasikan oleh dan dilaksanakan dengan KASIH.
**********
Ajaran dan praksis kasih selain menjadi fokus utama bacaan dalam Kel. 22:21-27 dan Mat. 22:34-40, juga merupakan hukum utama hidup kekristenan kita.
Menurut keyakinan saya ada beberapa dimensi yang mencolok mata berkenaan dengan KASIH.
Satu, tolok ukur KASIH adalah sesama yang kelihatan, terutama yang lemah, berkekurangan, miskin, difabel, yang menjadi korban ketidakadilan. Dalam Kitab Keluaran 22: 34-40, sesama yang kelihatan adalah janda dan anak yatim. Sesama yang demikian itu biasanya juga “kesrakat”, miskin dalam segala hal, tidak memiliki akses untuk keluar dari situasi terisolasi.
Dua, kasih itu serba tidak netral. Kasih itu dengan demikian memihak. Kasih itu memilih. Kasih asimetris. Seperti mentari yang hanya bersinar, hanya memberi itulah kasih. Ia tulus. Tak ada pamrih. Tak ada agenda dan maksud yang ditutup-tutupi.
Tiga, kasih itu senantiasa salibiah atau bersifat salib. Artinya, menyangkut dan berelasi dengan Allah dan sesama; memuat pematian dan penghidupan; merangkum segi vertikal sekaligus horizontal.
**********
Barangkali ada di antara kita yang masih dangkal dan keruh dalam pemahaman akan iman dan dalam penghayatannya, mengingat kita hidup dalam kotak yang sempit. Kasih kepada Allah itu dipersempit menjadi doa, ibadah, kebaktian, askese.
Sementara kasih kepada sesama tidak selalu mengungkapkan dan tidak senantiasa mewujudkan tiga dimensi tersebut. Contohnya, menanam pohon, hidup berhemat, hidup bersih sering dipandang bukan wujud dari kasih.
Jadi, kita masih perlu memilah dan memilih ungkapan serta wujud kasih yang tepat. Sebab kasih itu mengenal tingkatan atau gradasi. Bukankah ada macam ragam kasih seperti (dalam terminologi psikologi ada) eros, filia, agape yang memuncak misalnya Yoh. 15:13, kasih yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya atau sesama?
Akhirnya, recikan pemikiran ini saya tutup dengap peneguhan yang diabadikan dalam surat Santo Petrus. Katanya, “Kasihilah sungguh-sungguh seorang akan yang lain. Sebab kasih menutupi banyak sekali dosa.” (1 Ptr. 4:8). ****
Eddy Kristiyanto OFM