Untung Rugi dan Belaskasih Allah


Fr Nicolaus Heru Andrianto

Torehan Kisah Kecil

            Suatu sore, seorang umat berkisah soal untung rugi di mata Tuhan dan di mata manusia. Dalam pekerjaannya sebagai pembuat jamu ia menuturkan, meski jamu buatan tangannya itu dalam waktu setahun sudah menghasilkan ratusan liter namun dari segi ekonomi ia banyak merugi. Ia memandang ini kerugian, mengapa demikian? Ia mengalkulasi meski tidak pernah mencatat di atas kertas; dalam sebulan ia membuat kira-kira 160 liter jamu x 30 ribu per botol, maka keuntungan bersih perbulan kira-kira 1,2 juta.

Sampailah ia kemudian pada satu titik; usia. Ya, di bulan Juli diusia senjanya saat ini, ia jatuh sakit. Menurut dokter, salah satu penyebabnya karena kelelahan fisik. Tatkala opname selama lima hari, ia menghabiskan dua puluh empat juta lebih. Syukurlah karena asuransi di masa pandemi, ia hanya membayar sebelas juta. Sisanya dapat dibayar dua kali. Sedangkan, pemeriksaan laboratorium dan rawat jalan harus dibayarnya sendiri. Kira-kira dari semuanya itu ia mengeluarkan lima belas juta. Semua ia lakoni karena prinsipnya ia harus sehat, apapun cara dan usahanya.

Namun ketika menimbang untung rugi itu, ia tetap bisa menikmati kebahagiaan. Bahwa di tengah perjuangan untuk tetap sehat, banyak orang telah minum jamu racikannya. Terlebih lagi di tengah kesulitan semacam ini, ia pun masih bisa berbagi. Tatkala kenalannya terpapar covid 19, ia bisa mengirimkan jamu cuma-cuma tanpa dipungut bayaran. Ia pun masih bisa berdonasi untuk enam bulan ke Seminari. Di akhir permenungan menimbang untung rugi di mata manusia dan Tuhan itu, ia sampai pada kesimpulan bahwa sebenarnya ia tidak rugi. Memang secara manusiawi, seolah uang hasil keringatnya dipergunakan hanya untuk mengobati sakitnya dan malah lebih besar daripada yang dihasilkan dari meracik jamu. Namun di sisi lain, Tuhan memberi kesehatan dan kesempatan yang begitu luas untuk tetap bisa berbagi.

 

Kalkulasi Kita

            Kalau mau jujur dan mata batin kita jernih melihat, pandemi saat ini tidak melulu menjadi krisis. Pandemi bisa menjadi peluang-peluang baru, yang mengundang semua insan untuk berinovasi. Banyak peluang-peluang usaha yang mau tidak mau, berkembang pesat gegara pandemi seperti ini. Karena orang tetap akan berjuang agar semua yang pernah diusahakan tetap masih bisa berjalan, dengan aneka cara yang bisa ditempuh. Ibarat sebuah perjalanan, tidak selalu berada di jalan utama melainkan perlu berada di jalan-jalan kecil atau terobosan yang bisa membantu seseorang sampai pada tujuan yang sama.

Memang benar bahwa kalkulasi kita tidak hanya melulu pada hal ekonomi atau finansial, melainkan kita telah sampai pada kalkulasi hidup beriman kita. Bagaimana nasib iman kita tanpa perjumpaan dan doa bersama, baik di lingkungan atau gereja, meski kita pun tetap melakukan secara pribadi? Bagaimana kepekaan rohani itu diasah di tengah situasi susah? Atau justru malah pandemi ini menjadi sebuah keuntungan, tatkala tidak bisa datang ke Gereja dan justru bisnis lancar dan melimpah ruah? Dari sisi iman inilah kita perlu semakin kritis menimbang; mengalkulasi untung dan rugi dan perlu segera mendapatkan solusinya. Mengapa demikian?

Inilah modal besar kita untuk kehidupan kekal. Bukan berarti mengesampingkan daya atau kekuatan uang bagi kehidupan kita, melainkan sisi rohani pun perlu mendapat pertimbangan yang lebih kritis lagi. Memang ‘uang tidak akan dibawa mati’, demikian ungkapan keseharian yang pernah kita dengar atau kita tuturkan. Benar juga bahwa ‘tak punya uang pun rasanya seperti mau mati’, itu balasan dari tuturan pertama. Dalam menimbang dan mengalkulasi semacam ini, tampaknya cakrawala berpikir pun perlu diperluas. Menemukan makna di setiap saat, rasanya juga sangat membantu kita.

Dalam situasi seperti ini, kita perlu belajar menjadi pribadi yang seimbang dalam doing dan being. Dalam ranah psikologi, dalam buku (Iman Setiadi Arif, Psikologi Positif: Pendekatan Saintifik Menuju Kebahagiaan, hlm. 118-119), secara alamiah manusia membutuhkan dan menggunakan dua modus ini dalam hidupnya. Ada saatnya bekerja keras, ada saatnya beristirahat; ada saatnya berpikir, ada saatnya tidak berpikir; ada saatnya berperang, ada saatnya berdamai dan menerima; ada saatnya memecahkan masalah ada saatnya menjernihkan batin, demikian seterusnya. Oleh karena itu jika kedua modus ini berada dalam keseimbangan, pribadi akan berakar dalam kejernihan pengenalan diri, memiliki visi yang jelas tentang makna dan tujuan keberadaannya. Sehingga akan memecahkan berbagai masalah dengan lebih efektif dan berbagai pencapaian luar biasa. Pribadi semacam ini adalah pribadi yang kontemplatif dalam kerja, dan bekerja dalam kontemplasi. Kontemplasi tidak membuatnya buta akan berbagai masalah konkret yang membutuhkan solusi, tidak menjadikannya malas dan lamban bekerja; sementara kerja dan keterlibatan penuh di dunia tidak membuat hati dan pikirannya jadi keruh dan diwarnai berbagai kegelisahan.

Tentu kegelisahan dan kegembiraan, akan hadir dalam setiap kalkulasi untung dan rugi hidup kita. Bisa saja keduanya hadir bersamaan, namun bisa juga bergiliran hadir. Namun apakah selamanya kita hanya menimbang untung dan rugi saja dari kacamata manusiawi kita? Tidakkah kita pun ingat akan adanya belas kasih Allah dalam hidup kita yang sebenarnya selalu hadir, dan kadang tidak kita sadari aneka macam kehadiran-Nya.

Mata Seorang Anak Bayi

       

Mari sejenak berpikir, bahwa rasanya perlu dalam melihat betapa anugerah dan belas kasih Allah itu menggunakan model mata seorang anak bayi. Tentu kita pernah mengamatinya. Kalau kita melihat, bukan dari pusat manapun melainkan dari batin yang tidak tahu, dari batin yang hening, dan di situlah caranya bekerja. Ada keindahan tersendiri dalam mata seorang anak bayi. Jernih, bening, dan suka melihat segala sesuatu dengan tajam, bahkan bisa dalam waktu yang relatif lama tidak bergerak. Mereka melihat segala sesuatu dalam keutuhannya, dalam indah adanya.

Untung rugi dan kalkulasi hanya menjadi milik kita, orang dewasa. Kita bisa lekas bereaksi ketika ada orang tak kenal dengan kita memandang kita dengan sinis. Ada aneka perasaan dalam diri kita. Bahkan tak jarang, mata orang dewasa adalah mata yang menunjukkan batin yang tidak polos, dijejali aneka keinginan dan maksud. Termasuk apa yang menguntungkan dan merugikan, bahkan sekaligus mengambil sebuah kesimpulan.

Oleh karena itu, belas kasih Allah perlu disadari dengan mata batin yang hening dan diam. Belas kasih Allah perlu ditangkap dengan penuh perhatian. Barangkali itu dapat kita lakukan dan rasakan dalam keseharian kita. Saat itulah ingin rasanya kita berlama-lama menatap belas kasih Allah dalam setiap pengalaman.

Untung rugi dan belas kasih Allah, ada dalam realitas hidup beriman. Untung rugi dan belas kasih Allah, menyertai perjuangan hidup orang beriman. Dengan demikian dari untung rugi dan belas kasih Allah, mana yang sedang dan akan mendominasi hidupku? Apakah melulu untung rugi saja yang memengaruhi cara berpikir, berada dan bertindak kita? Atau menjadikan belas kasih Allah sebagai pusat segala rasa syukur kita? ***