Bapak Gojek, Maafkan Saya…

Redaksi
5 Min Read

Pagi hari di bulan Ramadhan 2021 yang lalu.  Masa pandemi. Virus corona masih merajalela. Meski begitu, saya memberanikan diri naik gojek dari Tanjungkarang menuju Wisma Albertus, Pahoman. Saya membawa helm sendiri. Memakai masker. Hand sanitizer selalu siap di dalam tas.

Di tengah perjalanan, saya baru sadar kalau gojek yang saya naiki ini tidak melewati jalan yang biasa saya lalui. Tetapi lewat Pasar Tugu. Semrawut. Macet. Panas menyengat. Haus. Membuat saya agak emosi.

Khotbah berulang

Padat merayap. Akhirnya motor gojek bisa keluar juga dari Pasar Tugu. Mulai dari situ, ternyata bapak gojek tidak tahu jalan lagi. Duh… malah muter-muter. Bertambah naiklah emosi saya. “Gimana lho Bapak ini. Wisma Albertus itu ‘kan dekat GOR (Gedung Olah Raga). Samping Radio Suara Wajar. Itu lokasi terkenal. Semua orang tahu…bla..bla..bla…” Dari A sampai Z tiada henti saya ‘berkhotbah.’

Beberapa kali bapak gojek itu meminta maaf. Tetapi tidak saya hiraukan. Saya malah menambah daftar litani gerutuan saya. ” Tukang ojek kok gak tahu jalan. Apa gak bisa baca GPS ya, gerutuku dalam hati.

Ketika sampai di area Rawa Laut, Pahoman, saya mulai berkhotbah lagi. “Nah, itu yang namanya Wisma Albertus,” ujarku sambil menunjuk gedung yang dimaksud. “Itu Xaverius. Di belakang sana GOR. Di seberang ada kolam renang. Masak gak tahu sih…” tambahku sambil menunjuk-nunjuk tempat lokasi yang baru saja saya jelaskan.

Kami berhenti tepat di depan Wisma Albertus. Saya turun dari motor ojol. “Maaf ya,” ujar bapak gojek itu lagi. Saya bergeming. Tak memperhatikannya. Saya sibuk mencari amplop uang di tas untuk membayar ojol itu. Kutemukan juga amplop berisi uang di antara buku-buku.  Ketika tanganku terulur hendak membayar, bapak ojol menstater motornya. Ia pergi tanpa kata. Gantian saya yang ‘melongo’. Termangu. Memandang motor gojek hijau itu hingga hilang dari pelupuk mata.

Tercenung

Kepergian bapak gojek tanpa kata itu membuat saya tercenung. Berhenti sejenak. Bisikan lembut suara hati semakin terasa. Membawa saya menulusuri lorong-lorong batinku. Apakah karena panasnya matahari dan lamanya perjalanan membuat saya begitu menderita? Dan merasa tidak dapat pelayanan yang baik dan cepat? Itukah yang membuat saya marah?

Tak ada manusia yang sempurna. Saya pun memiliki banyak keterbatasan dan kelemahan. Bisa jadi keterbatasan dan kelemahan saya ini, juga membuat orang lain harus menanggung penderitaan.

Mengolah emosi

Emosi itu pemberian Tuhan. Kita bersyukur memiliki itu. Dengan emosi, hidup menjadi lebih hidup. Lebih Indah. Karena ada tangis, tawa, canda, amarah, cemburu, cinta, sayang, rindu dan benci. Menambah indahnya hidup ini. Warna-warni kehidupan membuat kita menikmati karunia Tuhan.

Apa jadinya bila hidup kita tak memiliki emosi. Seperti robot. Mummy. Menyeramkan. Hidup terasa datar. Kaku. Lurus sepanjang masa. Nah, tinggal bagaimana kita mengendalikan dan mengolah emosi-emosi negatif supaya berdampak positif.

Pembelajaran

Kembali saya berhenti dan merenung hidup bapak gojek tadi. Khususnya di masa pandemi. Kala itu, pastilah ‘tarikan’ lebih sepi. Penghasilan jauh berkurang. Ketika pulang, bapak gojek harus membawa uang agar anak-istrinya bisa makan. Andai ia pulang tidak membawa uang, bagaimana keluarganya? Penghasilan sehari untuk makan sehari. Belum lagi ada kebutuhan lain yang juga mendesak.

Ketika saya mau membayar, ia malah pergi. Tak mau menerima bayaran. Menurut saya, itu disebabkan bukan karena saya cerewet atau emosi. Tetapi karena ia merasa tidak dapat melayani penumpangnya dengan baik. Ia merasa tak pantas untuk menerima uang sebagai upah hasil kerja kerasnya.

Bapak gojek, betapa mulia hatimu. Engkau tidak memikirkan dirimu saja. Tetapi penumpang yang kau bawa, juga ingin kaubahagiakan lewat pelayanananmu yang tulus. Maafkan saya, Bapak Gojek. Terimakasih atas pembelajaran ini.

Apabila kamu menjadi marah, janganlah kamu berbuat dosa: janganlah matahari terbenam, sebelum padam amarahmu dan janganlah beri kesempatan kepada Iblis. Efesus 4:26-27

Sr. M. Fransiska FSGM

Artikel ini sudah dimuat di majalah Keuskupan Tanjungkarang, NUNTIUS

 

 

Share This Article
Leave a Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *