GEGARA ‘ASTUTI’

Redaksi
3 Min Read

Mataku melotot. Ha? Kok bisa? Pastor misionaris dari Belanda yang kukenal baik. Ramah. Suci. Ternyata, punya rekam jejak yang membuatku menjadi terheran-heran. Tidak simpatik lagi.

Wawacara tertulis

Awalnya, saya ingin menulis tentang kisah kasih panggilannya menjadi seorang pastor misionaris. Saya memilih pastor itu, karena yakin akan menjadi sebuah tulisan yang menginspirasi banyak orang. Khususnya kaum muda yang masih ragu-ragu memilih panggilan hidup. Menjadi imam atau menjadi ayah yang baik dan bertanggungjawab.

Begitu pastor itu berkenan diwawancarai, saya mulai  beraksi. Wawancara diadakan secara tertulis. Beberapa pertanyaan kuajukan pada pastor tersebut. Salah satunya, mengapa tertarik ingin menjadi seorang pastor.

Balasan email

Beberapa hari kemudian. Saya mendapat balasan darinya via email. Saya download. Saya print. Segera saya membacanya. Sampai pada pertanyaan, mengapa ingin menjadi seorang pastor. Jawaban intinya, karena sejak kecil saya sering mengikuti Astuti.

Sampai di situ, aku berhenti membaca. Deg! Jantungku berdegup. Terkejut. Heran. Kecewa. Berbagai pikiran negatif tercipta dalam benakku.

Hanya gara-gara ngikutin Astuti? Astaga! Emangnya Astuti itu kayak apa sih orangnya? Cantikkah dia? Kok mau-maunya ngikutin Astuti itu? Kubayangkan, sebelum menjadi pastor ia pasti sering berjalan di belakangnya Astuti. Lama-kelamaan tertarik menjadi pastor.

Buyar

Gara-gara Astuti, aku hentikan rencana menulis tentang sejarah panggilan pastor itu. Buyar. Tidak jadi. Batal. Kutinggalkan ruang kerjaku. Melangkahkan kaki di kebun. Mengalihkan pikiran. Memandang bunga-bunga yang indah. Menjaga hati agar tetap gembira.

 Pencerahan

Beberapa hari kemudian. Suatu saat saya berjumpa dengan seorang suster senior. Saya merasa dekat dengannya. Entah mengapa, saya menceritakan tentang rencanaku yang ingin menulis tentang Pastor Belanda itu. Suster itu sungguh mendengarkan ceritaku. Melihat wajahnya yang serius, saya bercerita semakin bersemangat. Berapi-api.

Selesai bercerita. Suster senior itu bertanya, “Suster tahu artinya Astuti?” Dengan yakin saya menjawab, “Ya, tahulah! Astuti itu nama orang ‘kan. Perempuan.” Suster senior itu tertawa terpingkal-pingkal. Susah berhenti. Ia menjelaskan kalau Astuti itu Bahasa Jawa yang artinya, Adorasi. Sembah sujud di hadapan Sakramen Maha Kudus.

Aku terkejut ke dua kalinya. Mulutku sedikit terbuka. Jadi, Astuti itu bersembah sujud? Ya ampun… Tak pernah aku menyangka kalau Pastor Belanda itu memakai Bahasa Jawa dalam penulisannya.

Bagi saya, pengalaman ini sangat berharga. Ada rasa malu di hati saya. Saya harus mencari tahu terlebih dahulu sebelum saya menilainya. Memperluas wawasan. Pengetahuan. Cara berpikir. Selain itu, tidak menilai seseorang negatif dari sudut pandang saya sendiri. ***

 Sr. M. Fransiska FSGM

 

 

 

 

Share This Article
Leave a Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *